Kita Kategori Mana ?

| Date: Thursday, December 10, 2009 |
Guru Bertanya pada Murid
Ust. Fathuddin Ja'far, MA
Tradisi keilmuan, alias menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah mutiara umat Islam sepanjang sejarah. Sejak wahyu pertama kali diturnkan : Bacalah dengan menyebut nama Tuhan Penciptamu yang menciptakan.

Menciptakan manusia dari zigot yang menempel di dinding rahim. Bacalah dan Tuhan Penciptamu yang Maha Mulia, yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui”. (QS. Al-‘Alaq ; 1-5).

Sejak wahyu pertama tersebut turun lebih dari 14 abad silam, sampai hari ini, keilmuan – setelah keimanan – merupakan syarat mutlak bagi umat yang menginginkan kemualian dan kemajuan. (Q.S.58 : 11)

Dapat dibuktikan dalam sejarah, bahwa pasang surut umat Islam sangat tergantung dengan sejauh mana umat ini menghidupkan tradisi keilmuan tersebut. Atau dengan kata lain, maju mundurnya umat ini tergantung sejauh mana mereka menguasai esensi ilmu-ilmu Islam dengan baik.

Kemudian pengamalan ilmu-ilmu tersebut secara konsisten dan tepat merupakan faktor utama berikutnya. Tanpa pengamalan, ibarant pohon tanpa buah. Maka, iman, ilmu dan amal adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan. Rumusan ini, bukan hanya berlaku pada skala makro keumatan, maka sekala mikro pribadipun juga demikian.

Tradisi keilmuan itu harus berjalan dengan baik dan maksimal. Kalu tidak, hanya akan melahirkan kaum ummiyyun (yang mengandalkan prespsi-presepsi). Padahal, tradisi keilmuan itu seharusnya melahirkan kaum intelektual. Intelektual itu adalah yang sampai ke derajat haqul yaqin dan ‘ainul yaqin, dan tentunya terhindar dari sifat pak turut, atau menurut apa kata orang bijak atau apa kata orang banyak.

Salah satu ciri tradisi kelimuan itu berjalan dengan baik, bahwa sang mu’allim (guru), — apakah guru dengan pengertian terbatas seperti guru ngaji, guru sekolah, dosen, ustaz di masjid, ataukah guru dengan pengertian yang lebih luas seperti, iamam masjid, pemimpin jamaah, kelompok atau pemimpin sebuah Negara — concern terhadap murid-muridnya terkait apa sebenarnya yang mereka dapatkan selama belajar. Sudahkan mereka mendapatkan esensi dari apa yang mereka pelajari?

Lebih dari itu, sang guru juga haris menjadi teladan yang baik bagi murud-muridnya. Bukan hanya mengajar tok, lalu selesai kewajiban. Atau lebih parah lagi, mengajar dengan tujuan meraup murid atau pengikut sebanyak-banyaknya, lalu murid-murid tersebut mengikuti pendapat dan keingannya, bukan untuk mengikuti pendapat dan keinginan Islam.

Kalau hal ini yangterjadi, sudah dapat dipastikan bahwa sang murid harus taat dan patuh pada gurunya, di mana sebagian mereka lebihi ptauh dan taat ketimbang patuh dan taat pada Rasulullah Saw. Lebih mengerikan lagi jika para murid atau anggota jamaah tersebut menjadi limbung padi atau sumberkehidupan dan kesejahteraan sang guru atau pemimpin.

Dulu, di zaman umat Islam jaya, konon ada seorang guru bertanya pada muridnya seperti dalam dialog berikut :

Guru : Sejak kapan anda belajar dan berinteraksi dengan saya? Murid : Sejak 33 tahun lalu, wahai guru….

Guru : Apa saja gerangan yang engkau pelajari dari saya selama belasan tahun itu? Murid : Ada delapan masalah, Guru….

Mendegar jawababan tersebut, sang Guru agak marah sambil berkata : Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…. Habis sudah umurku bersamamu, hanya delapan perkara yang kamu dapatkan? Lalu sang muridpun menjawab dengan suara rendah : Benar Guru… saya tidak mempelajari dari dirimu kecuali hanya delapan perkara saja…

Guru : Baiklah… coba jelaskan kepada saya apa saja yang kamu pelajari itu…. Lalu, murid tersebut menjelaskannhya dengan sangat hati-hati sambil berkata :

1. Saya memperhatikan manusia, lalu saya dapatkan setiap mereka mencitai manusia sebagai kekasihnya. Namun saat kekasihnya dihantar ke kubur, ia meninggalkannya… Sebab itu, aku jadikan hasanat (amal sholeh) sebagai kekasihku… Saat akau nanti masuk kubur, pasti kekasihku masuk pula bersamaku..

2. Aku renungkan firman Allah : “Adapun orang yang takut akan maqoh Tuhan Penciptanya, dan mengendalikan diri dari hawa nafsu, maka Syurgalah tempat tinggalnya”. (Q.S.79 :40) Maka aku bermujahadah (berjuang keras) untuk menundukkan hawa nafsuku, sehingga hatiku tenang dan khusyuk dalam ketaatan pada Allah…

3. Aku perhatiakan manusia, setiap mereka yang memiliki harat dan benda-benda berharga lainnya mereka jaga dengan baik agar tidak hilang… Kemudian aku renungkan firman Allah : “Apasa yang yanag kamu miliki pasti akan lenyap dan apa saja yang di sisi Allah pasti kekal”. (Q.S.16 :96) Karena itu, setiap akau mendapatkan kebaikan harta, sebesar apapun nilainya, segera aku titipkan pada Allah agar Dia simpan di sisi-Nya..

4. Aku perhatikan manusia, maka aku lihat setiap mereka berbangga-bangga dengan harta, kedudukan dan keturuan. Kemudian aku renungkan friman Allah : “ Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang pailing taqwa..” (Q.S. 49:13). Maka akau berupaya melakukan berbagai amal yang menyampaikan aku ke tawqa agar aku mulia di sisi Allah…

5. Aku perhatikan manusia. Mereka saling melukaian dan saling melaknat satu dengan yang alainnya. Akau tahu asal perkara ini adalah hasad (iri hati atas kebaikan yang dicapai orang lain dengan cara yang baik dan halal). Kemudian aku reningkan firman Allah : “ Kami yang membagi-bagikan ma’isyah (rezki) dalam hidup di dunia ini”. (Q.S.43 :32). Lalu aku tinggalkan sifat hasad dan menjauh dari manusia-manusia (tidak menjilat) karena aku tau jatah kehidupan ini Allah yang membagi-bagikannya, maka hasadpun menjauh datiku.

6. Aku perhatikan manusia saling membenci, menzalimi dan bahkan sebagian mereka memerangi sebagian yang lain. Lalu aku renungkan firman Allah : “Sesungguhnya setan itu bagimu adalah musuh, maka jadikanlah ia sebagai musuh..” (Q.S. 35 : 6). Dengan demikian, aku hanya memfokuskan diri memusuhi setan dan meninggalkan memusuhi manusia….

7. Aku lihat manusia begitu bernafsu mengejar kehidupan dunia dengan mencurahkan semua tenaga, fikiran dan waktunya hanya untuk memperoleh dunia, bahkan tak peduli lagi halal dan haram… Aku renungkan firman Allah : “ Tidak ada makhluk melata di atas muka bumi ini kecuali Allahlah yang member rezkinya..”(Q.S. 11 : 6). Melaui ayat itu, aku tahu bahwa aku adalah salah satu makhluk melata itu. Karena itu, aku fokuskan menunaikan kewajibanku terhadap-Nya, dan biarlah Dia mencurahkan karunia-Nya atasku…

8. Sesungguhnya aku melihat manusia saling bertawakkal (menerahlan diri dan nasib) kepada sesama mereka… Yang ini bertawakkal pada hartanya.. yang lain lagi bertawakkal pada pangkat, kedudukan, kesehatan atau bahkan pada status sosialnya.. Lalu aku reninglan firman Allah : “ Siapa yang bertawakkal pada Allah, niscaya Allah akan cukupkan keperluannya..”. (Q.S. 65 : 3).

Maka akupun tinggalkan tawakkal pada manusia dan bersungguh-sungguh bertawakkal hanya pada Allah…

Syahdan, mendengar penjelasan sang murid itu, Gurunya menangis tersedu-sedu karena betapa bahagia hatinya mendengar penjelasan tersebut.

Kendati penjelasan tersebut singkat dan hanya delapan perkara, akan tetapi terdapat di dalamnya prinsip-prinsip dasar akidah yang akan menjadi pijakan muridnya dalam mengharungi lautan kehidupan yang amat luas penuh ombak dan badai.

Lalu sang Guru berkata : Semoga Allah berkahi hidupmu muridku…

Nah… Bagaimana dengan kita?

0 komentar:

Post a Comment